Status gizi dan perkembangan inteligensi

Pendahuluan

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM (Amarita dan Falah, 2004).

Kurang gizi khususnya Kurang energi protein (KEP) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Prevalensi balita gizi kurang, balita kurus dan balita pendek masih tinggi. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 prevalensi gizi kurang (BB/U <-2 SD WHO 2006) sebesar 18,4%, balita pendek ( TB/U <-2 SD WHO 2006) sebesar 36,8 %, dan balita kurus (BB/TB <-2 SD WHO 2006) sebesar 13,6 %. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun prevalensi gizi kurang sudah menurun di mana lebih rendah dari target pembangunan kesehatan Indonesia 2009 sebesar 20% dan Millenium Development Goals (MDGs) 2015 sebesar 18,5%, namun prevalensi balita pendek dan balita kurus masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2008).

KEP yang terjadi pada usia awal masa kanak-kanak akan memiliki dampak yang bersifat permanen pada usia selanjutnya. KEP dapat mengakibatkan perubahan structural dan fungsional otak  yang sebagiannya dapat bersifat permanen. Anak-anak dengan kekurangan gizi berat memiliki kepala yang lebih kecil daripada anak yang normal berdasar hasil pemeriksaan auditory-evoced potensials, dan tetap abnormal walaupun telah terjadi pemulihan dari stadium akut (Baker-Henningham & Grantham-McGregor, 2009).

Menurut Hadi (2005), masa balita ini menjadi lebih penting lagi oleh karena merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas. Terlebih lagi 6 bulan terakhir masa kehamilan dan dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki. Anak yang menderita kurang gizi (stunted) berat mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted (UNICEF, 1998).

Beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan yang kuat antara gizi buruk pada usia kanak-kanak dini dengan berkurangnya tingkat kecerdasan anak di kemudian hari. Watanabe et al. (2005) menemukan pengaruh  yang signifikan dari intervensi gizi dan stimulasi pada peningkatan skor tes kognitif anak pendek/stunted. Mendez & Adair (1999) yang melakukan penelitian  di Filipina menemukan bahwa anak yang pendek sejak lahir sampai usia 2 tahun memiliki skor kognitif yang rendah dibandingkan dengan anak yang normal pada usia 8 dan 11 tahun.

Pengertian Kecerdasan

Menurut Binet dan Simon dalam Azwar, (2008) bahwa inteligensi atau kecerdasan terdiri atas tiga komponen, yaitu a) kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan-tindakan, b) kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, dan c) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan autocriticism.

Binet juga beranggapan bahwa inteligensi bersifat monogeneik, yaitu berkembang dari satu faktor satuan atau faktor umum. Intelegensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang. Binet juga menggambarkan inteligensi sebagai sesuatu yang fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk mengamati dan menilai tingkat perkembangan individu berdasarkan suatu criteria tertentu.

Jadi untuk melihat apakah seseorang cukup cerdas atau tidak dapat diamati dari cara dan kemampuannya untuk mengubah arah tindakannya itu apabila perlu, Inilah yang dimaksud dengan komponen arah, adaptasi, dan kritik. Salah satu cara yang digunakan untuk menyatakan tinggi-rendahnya tingkat kecerdasan adalah dengan menerjemahkan hasil tes inteligensi ke dalam angka yang dapat menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang bila dibandingkan  secara relative terhadap suatu norma.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan

Faktor genetik :

Faktor genetik merupakan modal dasar untuk dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas pertumbuhan. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang optimal

Secara biologis, individu berkembang dari dua sel benih yaitu sel telur (ovum) yang ada pada ibu dan sel sperma yang berasal dari ayah yang akan membuahi sel telur. Sperma dan sel telur masing-masing berisi 23 kromosom, yaitu struktur yang berisi faktor-faktor herediter. Di dalam setiap kromosom terdapat struktur yang lebih kecil yang disebut sebagai gen. Gen inilah yang sesungguhnya menjadi penentu sifat-sifat unik yang akan diturunkan seperti warna mata, warna rambut dan kulit (Azwar,2008).

Komorita dkk dalam Azwar, (2008) menyimpulkan bahwa hereditas menetapkan batas perkembangan yang dapat dilakukan oleh lingkungan. Bagaimanapun juga besarnya stimulus lingkungan yang diterima oleh organism yang bersangkutan tidak dapat melampaui batas yang telah ditetapkan oleh faktor keturunan.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bukti adanya pewarisan inteligensia berasal dari penelitian  yang menghubungkan  IQ orang dari berbagai tingkatan genetik. Eysenck (1981) disitasi oleh Azwar,(2008) melaporkan hasil studi awal yang dilakukan di Inggris oleh Herman dan Hogben, yang melakukan penelitian kembar MZ, kembar DZ berjenis kelamin berbeda dan saudara sekandung biasa. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata IQ sebesar 9,2 point pada 65 pasangan kembar MZ, 17,7 point pada 96 pasang kembar DZ berjenis kelamin sama dan 17,9 point pada 138 pasang kembar DZ berlainan jenis kelamin. Bila dinyatakan dalam korelasi maka korelasi IQ antara kembar MZ dalam studi Herman dan Hogben sebesar 0,84 dan untuk kembar DZ sebesar 0.47. dari analisa lanjutan mengatakan bahwa 80 % variasi total IQ disebabkan oleh faktor genetik.

Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Menurut Atkinson dkk, kondisi lingkungan yang menentukan  potensi intelegensia individu akan berkembang antara lain ; gizi, kesehatan, kualitas stimulus (rangsangan), iklim emosional di rumah, dan jenis umpan balik yang ditimbulkan oleh perilaku (Sobur,2003).

1.)  Status Gizi

Untuk mencapai tumbuh kembang yang baik maka diperlukan zat makanan yang adekuat. Makanan yang kurang baik secara kualitas maupun kuantitas akan menyebabkan gizi kurang. Keadaan gizi kurang dapat mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional pada otak.

Menurut Georgieff (2007), Otak manusia mengalami perubahan struktural dan fungsional yang luar biasa antara minggu ke 24 dan minggu 42 setelah konsepsi. Sel-sel otak mulai terbentuk pada trimester pertama kehamilan,dan  berkembang pesat sejak dalam rahim. Perkembangan ini berlanjut saat setelah lahir hingga usia 2 atau 3 tahun, periode tercepat usia 6 bulan pertama. Setelah usia tersebut praktis tidak ada pertumbuhan lagi, kecuali pembentukan sel neuron baru untuk mengganti sel otak yang rusak. Dengan demikian diferensiasi  dan pertumbuhan otak berlangsung hanya sampai usia 3 tahun.

Kekurangan gizi pada masa kehamilan akan menghambat multiplikasi sel janin, sehingga jumlah sel neuron di otak dapat berkurang secara permanen. Sedangkan kekurang gizi pada usia anak sejak lahir hingga 3 tahun akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel glia dan proses mielinisasi otak. Sehingga kekurangan gizi saat usia kehamilan dan usia anak sangat berpengaruh terhadap kualitas otaknya.

Gizi kurang pada usia di bawah 2 tahun akan menyebabkan sel otak berkurang 15-20%, sehingga anak yang demikian kelak kemudian hari akan menjadi manusia dengan kualitas otak sekitar 80-85%.

Sejumlah penelitian pada hewan memperlihatkan bahwa keadaan malnutrisi prenatal dan pascanatal dini pada tikus menimbulkan banyak perubahan dalam struktur otak hewan tersebut, kendati perubahan ini akan membaik pada saat tikus diberi makanan kembali. Namun demikian, beberapa perubahan dianggap permanen dan perubahan yang permanen tersebut meliputi penurunan jumlah myelin dan jumlah dendrite kortikal dalam medulla spinalis serta peningkatan jumlah mitokondria dalam sel-sel neuron syaraf  (Baker-Henningham & Grantham-McGregor, 2009)

Pertumbuhan susunan syaraf ini dapat dikatakan berlangsung dengan cepat sekali selama dalam kandungan dan 3 sampai 4 tahun setelah dilahirkan. Selama dalam kandungan susunan syaraf yang terutama tumbuh cepat adalah jumlah dan ukuran sel syaraf. Setelah bayi lahir maka pertumbuhan susunan syaraf lebih terarah pada perkembangan sel syaraf yang belum berkembang. Setelah anak berusia lebih dari 4 tahun, pertumbuhan susunan syaraf berlangsung lebih lambat (Hurlock, 2008).

Ketika dilahirkan otak bayi beratnya satu per delapan dari berat tubuh seluruhnya, pada usia 10 tahun berat otak akan satu per delapan belas berat tubuh, dan pada usia 15 tahun berat otak akan satu pertigapuluh berat tubuh pada usia dewasa akan mencapai berat satu perempat puluh berat tubuh seluruhnya. Pola pertumbuhan ini berlaku baik bagi cerebrum maupun cerebellum. Selama dua tahun pertama kehidupannya, pertumbuhan berat otaknya rata-rata paling cepat.

Stuart dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kekurangan zat gizi berupa vitamin, mineral dan zat gizi lainnya mempengaruhi metabolisme di otak sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan saraf. Hal itu berakibat terganggunya pertumbuhan sel-sel otak baru atau mielinasi sel otak terutama usia di bawah 3 tahun, sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak. Walter tahun 2003 melakukan penelitian terhadap 825 anak dengan malnutrisi berat ternyata mempunyai kemampuan intelektual lebih rendah dibandingkan anak yang mempunyai gizi baik.

2.) Stimulasi

Perkembangan psikis seseorang tidak saja ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam dirinya, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar diri anak tersebut. Oleh karena itu lingkungan sosial harus mendukung perkembangan anak melalui pemberian berbagai stimulasi. Bila anak mendapatkan stimulasi maka ia akan mengembangkan kemampuannya dalam batas-batas yang diberikan oleh keluarga atau lingkungannya. Hal ini akan sangat berpengaruh bagi perkembangan yang sehat (Monks et a!., 2006).

Stimulasi memegang peranan sangat penting dalam memaksimalkan kecerdasan anak. Stimulasi diperlukan agar hubungan antarsel syaraf otak (sinaps) dapat berkembang. Penting untuk diingat bahwa sinaps akan menghilang secara spontan bila tidak digunakan (Sophia, 2009).

Interaksi yang harmonis antara anak dengan anggota keluarga akan menimbulkan keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka pada orang tuanya sehingga setiap permasalahan dapat dipecahkan bersama karena adanya kedekatan dan kepercayaan antara orang tua dan anak. Kualitas interaksi yang baik akan menimbulkan pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi rasa saling menyayangi (Soetjiningsih, 1995).

Anak mempunyai kebutuhan untuk belajar. Berbagai stimulasi melalui pancainderanya seperti mendengar, melihat, merasa, mencium dan meraba, yang diberikan selama awal kehidupan mempunyai pengaruh yang besar pada pertumbuhan dan maturasi otak.

Hal ini ditunjukkan oleh program stimulasi yang dapat mendorong percepatan pertumbuhan, memperbaiki koordinasi gerakan otot, meningkatkan lama konsentrasi dan meningkatkan Inte!!igence Quotion (IQ) bayi sebanyak 15 poin. Terdapat bukti eksperimental yang menyatakan bahwa tikus yang dibesarkan dalam lingkungan stimulasi dengan penuh kegembiraan dan permainan mempunyai sel otak ekstra 50.000 pada setiap sudut hipokampusnya dibandingkan dengan tikus yang dibesarkan dalam kandang biasa. Ketika tikus ditempatkan di treadmill, menyebabkan sel otak mereka memproduksi faktor pertumbuhan yang menstimulasi pertumbuhan dendrit dan perluasan jaringan saraf. Pertumbuhan neuron tidak hanya terjadi pada bagian otak yang mengontrol fungsi motorik tapi juga pada bagian yang mengontrol kognitif (Singh, 2003).

Penelitian yang dilakukan Watanabe et al,.(2005) di Vietnam menunjukkan bahwa peranan stimulus dan intervensi gizi secara bersama-sama sangat penting dalam meningkatkan skor tes kognitif anak-anak yang menderita gizi kurang.  Anak-anak gizi kurang yang diberikan intervensi gizi dan stimulus memiliki tes skor kognitif yang lebih tinggi daripada anak yang hanya diberikan intervensi gizi saja.

Sedangkan Purwandari, dkk (2008), yang melakukan penelitian tentang intelegensia pada anak yang disapih sebelum dua tahun dan sesudah dua tahun menunjukkan bahwa rangsangan intelektual menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap intelegensia anak. Anak-anak yang mendapatkan rangsangan intelektual baik memiliki proporsi intelektual yang lebih baik daripada anak-anak dengan rangsangan intelektual jelek.

3.)                                                      Pendidikan ibu

Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Ibu yang berpendidikan tinggi lebih terbuka menerima informasi dari luar tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih, 1995). Penelitian lain menemukan hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan perkembangan anak. Penelitian Muljati et al. (2002) juga menemukan hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan perkembangan mental anak batita gizi kurang.

Pendidikan ibu akan mempengaruhi perkembangan jika ibu memiliki pengetahuan yang baik tentang pengasuhan anaknya serta adanya interaksi yang harmonis antara ibu dan anak. Tanpa kedua hal tersebut pendidikan ibu yang tinggi tidak serta merta dapat mempengaruhi perkembangan terlebih kepedulian ibu terhadap tumbuh kembang anak minim.

4.)                                                      Pekerjaan ibu

Ibu mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak. Pekerjaan yang mengharuskan ibu untuk keluar rumah menyebabkan kurangnya interaksi antara ibu dan anak. Hal ini mengakibatkan kurangnya stimulasi yang diberikan kepada anak sehingga dapat mempengaruhi proses tumbuh kembangnya.

Pekerjaan ibu menimbulkan permasalahan yang dilematis. Pada satu sisi seorang ibu terkadang dituntut untuk ikut membantu perekonomian keluarga. Sementara di sisi lain proses tumbuh kembang anak juga memerlukan perhatian yang khusus. Oleh karena itu seorang ibu harus bersikap bijak dalam menentukan prioritas yang akan dipilih, tanpa mengabaikan hak anak untuk mendapatkan kasih sayang.

5.)                                                      Status ekonomi

Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Kemiskinan berkaitan dengan kekurangan makanan, kesehatan lingkungan yang jelek dan ketidaktahuan. Kemiskinan akan menyebabkan keterbatasan keluarga dalam menyediakan berbagai fasilitas bermain menyebabkan otak anak kurang mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat menghambat perkembangannya (Depkes, 2007).

Menurut Davidof (1991), efek kemiskinan terhadap inteligensi antara lain : kemiskinan sering dihubungkan dengan kepadatan, kebisingin, ketegangan dan kondisi hidup yang berubah. Dengan kondisi seperti ini anak-anak kurang memperoleh informasi baru yang teratur untuk belajar. Kegiatan-kegiatan tersebut sangat penting untuk perekembangan intelligensi anak.

Efek yang kedua adalah anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu sedikit sekali memperoleh tambahan kata-kata yang dipergunakan untuk mengekspresikan diri dan pengalamannya. Keterbatasan perbendaharaan kata-kata akan mempersempit pemikirannya dan dapat mengakibatkan intelligensi menurun.

Selanjutnya adalah anak yang berasal dari orang tua miskin, kecil kemungkinannya untuk dapat meluangkan waktu untuk memberikan pendidikan pengembangan kemampuan anak, dan sering mereka tidak mengetahui caranya, karena keterbatasan pendidikannya.

  1. Cara mengukur Kecerdasan

Salah satu cara yang sering digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya tingkat kecerdasan adalah menerjemahkan hasil test intelegensia  ke dalam angka yang dapat menjadi petunjuk mengenai  kedudukan tingkat kecerdasan seseorang bila dibandingkan secara relative terhadap  suatu norma. Angka normative dari hasil tes dinyatakan dalam bentuk rasio (quotient) dan dinamai intelligence quotient (IQ) (Azwar,2008).

Istilah IQ diperkenalkan pertama kali pada tahun 1912 oleh seorang ahli psikologi Jerman bernama William Stern. Kemudian digunakan secara resmi pada tahun 1916 ketika Terman, seorang ahli psikologi Amerika menerbitkan Revisi Binet. Angka IQ dihitung dari hasil tes inteligensi Binet, yaitu dengan membandingkan skor tes yang diperoleh seorang anak dengan usia anak tersebut. Pada waktu itu perhitungan IQ dilakukan dengan memakai rumusan ;

IQ = (MA/CA) x 100

Keterangan :

MA            = Mental Age (usia mental)

CA                        = Chronological age (usia kronologis)

100           = Angka konstan untuk menghindari bilangan decimal.

Pada saat ini ada beberapa tes IQ yang popular antara lain : Standford-Binet Intelligence Scale untuk usia 3-14 tahun, The Wechsler Intelligence Scale for Children-Revised (WISC-R) untuk usia 6-16 tahun, The Wechsler Adult Intelligence Scale Revised (WAIS-R) untuk usia 16 sampai 64 tahun, The Standard Progressive Matrices (SPM) dan The Kaufman Assesment Battery for Children (K-ABC) untuk anak usia 4 sampai 12,5 tahun (Azwar, 2008).

Dalam penelitian ini, tes kecerdasan yang akan digunakan adalah Standford-Binet Intelligence Scale. Pemilihan tes didasarkan pertimbangan bahwa tes ini memiliki validitas yang tinggi dalam menilai kerusakan otak yang bermakna atau retardasi mental. Tes ini juga bagus untuk menilai memori jangka pendek. Selain itu kelompok umur penelitian yaitu umur 5-6 tahun  masuk ke dalam kategori umur yang dapat menggunakan tes tersebut (Gregory, 1992).

Stanford-Binet Intelligence Scale: Fourth Edition merupakan versi terbaru yang diterbitkan pada tahun 1986. Dalam revisi terakhir ini konsep intellegensi dikelompokkan menjadi empat tipe penalaran yang masing-masing diwakili oleh beberapa tes.  Keempat area penalaran itu adalah penalaran verbal, abstrak/visual, kuantitatif dan memori jangka pendek (Gregory, 1992).

Materi-materi yang terdapat dalam Skala Stanford-Binet berupa sebuah kotak yang berisi bermacam-macam benda mainan tertentu yang disajikan pada anak-anak, dua buah buku kecil yang memuat cetakan kartu-kartu, sebuah buku catatan untuk mencatat jawaban dan skornya, dan sebuah manual/petunjuk pelaksanaan pemberian tes (Azwar, 2008).

Tes-tes dalam skala ini dikelompokkan menurut berbagai level usia mulai dari usia-II sampai dengan usia dewasa-superior. Diantara usia-II dan usia-V, tesnya meningkat dengan interval setengah tahunan. Diantara usia-V dan usia-XIV, level usia meningkat  dengan interval satu tahunan. Level-level selanjutnya dimaksudkan sebagai level Dewasa-rata-rata  dan level Dewasa-Superior I,II, dan III. Setiap level usia dalam skala ini berisi enam tes, kecuali untuk level Dewasa-Rata-rata yang berisi delapan tes. Dalam masing-masing tes untuk setiap level usia terisi soal-soal dengan taraf kesukaran yang tidak jauh berbeda. Berdasarkan perbedaan taraf kesukaran yang kecil itulah disusun urutan soal dari yang paling mudah sampai kepada yang paling sukar (Azwar, 2008).

Skala Stanford-Binet dikenalkan secara individual dan soal-soalnya diberikan secara lisan oleh pemeberi tes. Oleh karena itu pemberi tes haruslah orang yang mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup di bidang psikologi, sangat terlatih dalam penyajian tesnya, dan mengenal betul isi berbagai tes dalam skala tersebut. Penyajian tesnya sendiri mengandung kerumitan yang spesifik bagi masing-masing individu yang dites. Tidak ada individu yang dikenai semua soal dalam tes karena setiap subjek diberi hanya soal dalam tes yang berada dalam cakupan level usia yang sesuai dengan level intelektualnya masing-masing (Azwar, 2008).

Untuk memperoleh angka IQ, skor pada skala Stanford-Binet dikonversikan dengan bantuan suatu table konversi. IQ yang dihasilkan oleh skala ini merupakan IQ-deviasi yang mempunyai rata-rata sebesar 100 dan deviasi standar sebesar 16.

Tabel 1. Distribusi IQ untuk Kelompok Standarisasi Tes Binet Tahun 1937 (Dari Garrison dan Magoon 1972)

IQ

Persentase

Klasifikasi

160-169150-159

140-149

0,03

0,20

1,10

Sangat superior
130-139120-129

3,10

8,20

Superior
110-119

18,10

Rata-rata tinggi
100-10990-99

23,50

23,00

Rata-rata normal
80-89

14,50

Rata-rata rendah
70-79

5,60

Batas lemah
60-6950-59

40-49

30-39

2,00

0,40

0,20

0,03

Lemah mental

Sumber : Azwar (2008) halaman 59

  1. B. Pengaruh Status Gizi Terhadap Kecerdasan Anak

Otak terbagi menjadi 2 belahan yaitu sisi kiri dan sisi kanan yang disebut hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Hemisfer kiri terutama bertanggung jawab dalam hal logika, pemikiran, pengertian, analitis, bahasa dan matematis. Hemisfer kanan bertanggung jawab untuk perkembangan karakteristik artistik seperti musik, menari, melukis, puisi, emosi, persepsi, kreatif, pemikiran intuitif dan spritual. Berbagai aktivitas yang menstimulasi kedua hemisfer secara bersamaan akan mendorong perkembangan inteligen secara global. Sementara itu hipokampus berfungsi untuk interaksi sosial, emosi dan memori (Singh, 2003).

Kualitas perkembangan otak manusia tergantung pada interaksi antara potensi genetik dan faktor-faktor lingkungan seperti asupan gizi, stimulasi dan sikap orang tua. Sel-sel otak lebih sensitif terhadap zat gizi dari pada sel-sel tubuh yang lain. Otak adalah organ fisik yang sangat berharga, pusat segala eksistensi kita seperti inteligen, kepribadian, emosional, akal, spiritual dan jiwa. Tidak ada yang lebih utama untuk meraih kesuksesan hidup dari pada fungsi otak yang optimal. Kita dapat mengoptimalkan fungsi saraf dalam otak melalui kecukupan zat gizi dan melalui aktivitas mental dan fisik. Terdapat lebih dari 100 milyar jaringan saraf dalam otak yang integritasnya tergantung pada asupan zat gizi yang cukup dan juga aktivitas mental dan fisik (Singh, 2003).

Defisiensi berbagai zat gizi terutama zat gizi makro akan mempengaruhi neuroanatomi, neurokimia dan neurofisiologi dari perkembangan otak. Pengaruh pada anatomi otak termasuk pada neuron dan sel pendukung seperti oligodendrosit, astrosit dan mikroglia. Tergantung pada waktu dan lamanya defisiensi, akan mengurangi jumlah dan ukuran neuron serta pembentukan sinapsis. Oligodendrosit adalah sel glia yang memproduksi myelin dan bergantung pada substrat zat gizi makro untuk metabolisme energinya. Oligodendrosit juga berfungsi memasukkan asam lemak ke dalam myelin. Astrosit berfungsi untuk menghantarkan zat gizi. Mikroglia adalah sel yang penting untuk migrasi neuron dari bagian tengah tabung saraf ke korteks serebri. Oleh karena itu defisiensi zat gizi makro dapat mengakibatkan hipomyelinasi dan lebih jauh lagi mengurangi hantaran zat gizi dan migrasi neuron yang abnormal selama awal perkembangan otak. (Georgieff, 2006).

Menurut Baker-Henningham & Grantham-McGregor (2009) ada dua hipotesa penting yang menjelaskan bagaimana defesiensi gizi dapat mempengaruhi perkembangan mental anak. Hipotesa pertama yang disebut sebagai “ isolasi fungsonal’. Dalam teori ini bahwa karakteristik perilaku anak-anak gizi kurang menurunkan interaksi dengan lingkungannya dan keadaan ini yang selanjutnya berdampak pada pada perkembangan yang buruk. Anak kecil yang berat badannya kurang dan bertubuh pendek ternyata dapat menunjukkan perubahan perilaku. Anak-anak tersebut memperlihatkan aktivitas yang menurun, lebih rewel dan tidak merasa bahagia, serta tidak begitu menujukkan rasa ingin tahu jika dibandingkan anak-anak yang gizinya. Perilaku ini yang diyakini mempengaruhi perkembangannya.

Hipotesa lainnya mengatakan bahwa keadaan gizi kurang mengakibatkan perubahan structural dan fungsional pada otak. Protein dan energi mendukung perkembangan otak yang cepat. Otak membutuhkan protein untuk sintesis deoxyribonucleic Acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA), produksi neurotransmiter, sintesis faktor pertumbuhan serta untuk perpanjangan neurit sehingga fungsi otak efisien dalam jaringan sinapsis. Defisiensi protein menyebabkan kehilangan struktur dendrit dan gangguan pada dendrit tulang belakang. Efek terberat pada bagian kortek dan hipokampus yang berfungsi sebagai pusat memori (Georgieff, 2006).

Pengaruh neurokimia dari Kekurangan Energi dan Protein (KEP) adalah perubahan sintesis neurotransmiter dan jumlah reseptornya. KEP juga mempengaruhi neurofisiologi yaitu kemampuan neuron untuk bekerja menghantarkan impuls saraf. Secara langsung merubah metabolisme neuron atau secara tidak langsung merubah struktur neuron atau homeostasis neurotransmiter (Georgieff, 2006).

Sejumlah penelitian pada hewan memperlihatkan bahwa keadaan malnutrisi prenatal dan pascanatal dini pada tikus menimbulkan banyak perubahan dalam struktur otak hewan tersebut, kendati perubahan itu akan membaik pada saat tikus itu diberi makan kembali. Namun demikian, beberapa perubahan dianggap permanen meliputi jumlah myelin dan jumlah dendrite kortikal dalam medulla spinalis serta peningkatan jumlah mitokondria dalam sel-sel neuron syaraf. Anak-anak dengan malnutrisi berat memiliki kepala yang lebih kecil dan hasil pemeriksaan auditory-evoced potentials yang abnormal, serta tetap abnormal sekalipun telah terjadi pemulihan dari stadium akut. Anak-anak yang pendek memiliki ukuran kepala yang kecil, dan lingkar kepala pada usia kanak-kanak dapat memprediksikan nilai IQ pada perkembangan usia kanak-kanak selanjutnya(Baker-Henningham & Grantham-McGregor, 2009)

Sedangkan beberapa penelitian observasional dan longitudinal menujukkan bahwa keadaan gizi kurang yang terjadi setiap saat dalam usia dibawah 36 bulan pertama biasanya disertai efek jangka panjang. Grantham, et al. (1991)  melakukan penelitian eksperimen pada anak stunted usia 9-24 bulan. Anak diberi susu formula sebanyak 1 kilogram (kg) per minggu selama 2 tahun. Sebanyak 129 anak dirandom untuk masuk kelompok suplementasi saja, kelompok stimulasi saja serta kelompok suplementasi dan stimulasi. Kelompok anak yang tidak stunted juga diikutkan dalam penelitian ini. Pemberian suplementasi bersama dengan stimulasi meningkatkan perkembangan mental anak

Watanabe et al. (2005) melakukan penelitian untuk mengetahui efek jangka panjang dari intervensi gizi dan stimulasi dini perkembangan anak usia 4-5 tahun terhadap perkembangan kognitifnya pada usia 6,5-8,5 tahun. Subjek berasal dari 2 kelompok yaitu subjek yang pernah mendapatkan intervensi gizi saja dan subjek yang mendapatkan intervensi gizi dan program stimulasi dini perkembangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa skor tes kognitif lebih tinggi pada kelompok subjek yang pernah mendapatkan intervensi gizi dan stimulasi dini perkembangan dari pada kelompok subjek yang hanya mendapatkan intervensi gizi saja.

Mendez & Adair (1999) mengatakan bahwa gizi kurang pada bayi dan awal kehidupan diperkirakan memiliki efek negatif terhadap perkembangan kognitif. Anak yang stunted pada usia 2 tahun pertama kehidupan, pada usia 8 dan 11 tahun mempunyai skor tes kognitif yang signifikan lebih rendah dari pada anak nonstunted terutama bila severe stunted. Liu et al. (2004) melakukan penelitian tentang kurang gizi pada usia 3 tahun dan dampaknya terhadap masalah-masalah perilaku pada usia 3, 11 dan 17 tahun di Mauritius, Afrika. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kurang gizi berpengaruh terhadap kekurangan neurokognitif, di mana jika terus belangsung akan berdampak pada masalah-masalah perilaku sampai usia dewasa.

Namun beberapa penelitian lainnya tidak menemukan hubungan yang signifikan antara status gizi dengan perkembangan kognitif. Purwandari et al (2008) melakukan penelitian tentang hubungan usia penyapihan dengan intelegensia pada anak TK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stunted bukan merupakan faktor resiko dari rendahnya intelegensia pada anak. Penelitian ini lebih menekankan bahwa rangsangan intelektual merupakan faktor resiko rendahnya tingkat intelegensia, di mana anak yang mendapatkan rangsangan intelektual baik maka tingkat intelegensianya lebih tinggi.

Sementara Suhartono et al (2008) juga melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan anak gizi buruk masa lalu di Kabupaten Tanggamus, Lampung. Penelitian mengumpulkan anak yang menderita gizi buruk masa lalu dan dilakukan pengukuran pertumbuhan dan perkembangannya saat ini. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada hubungan status gizi masa lalu dengan pertumbuhan anak saat ini, tetapi tidak ada hubungan bermakna dengan perkembangan anak saat ini.

Leave a comment